Mengenal Teknologi Modern Canggih untuk Tentukan Awal Ramadan
Dalam upaya menetapkan awal Ramadhan Tahun 2024 , para perukyat hilal sudah dibantu oleh teknologi modern yang canggih. Mereka memanfaatkan kecanggihan teleskop dan berbagai teknologi peneropongan astronomi.
Prof Dr Thomas Djamaluddin, MSc, ahli astronomi dan astrofisika dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sempat mengungkapkan bahwa teleskop yang dipakai sudah dilengkapi otomatisasi komputer dan teknologi terkini. Dengan begitu, para perukyat bisa langsung melihat ke arah posisi bulan tanpa halangan.
"Dulu ketika belum ada teknologi optik, yang bisa dilakukan hanya mengarahkan agar pengamat fokus melihat ke arah tertentu. Jadi itu hanya alat bantu untuk fokus. Lalu teknologi teleskop berkembang sehingga bisa membantu apakah cahaya yang dilihat benar hilal atau bukan," kata Prof Djamal. saat ditanya oleh tim.
Namun demikian, menggunakan teleskop pun ada tantangannya. Menurut Prof Djamal, karena fungsinya adalah untuk mengumpulkan cahaya dan pengamatan hilal, kadang dapat terganggu oleh banyaknya cahaya yang dikumpulkan teleskop.
"Fungsi teleskop itu sendiri yaitu mengumpulkan cahaya. Dengan mengumpulkan cahaya, maka objek yang redup bisa lebih jelas lagi. Tapi problem pada rukyatulhilal tidak sesederhana itu," ujarnya waktu diskusi 'Kriteria Baru MABIMS dalam Penentuan Awal Ramadan' di Gedung BJ Habibie (8/3).
Prof Djamal memperjelas, cahaya hilal bisa diperkuat oleh teleskop, akan tetapi, hal itu juga berlaku kepada cahaya syafaq dan juga cahaya senjanya. Jadi katanya, kontras cahaya hilal yang tipis terganggu.
"Menjadi persoalan pada rukyatulhilal yaitu kontras antara cahaya hilal yang sangat tipis dan juga gangguan cahaya syafaq yang masih cukup terang," terangnya.
Oleh sebab itu ada kriteria tinggi minimal dan jarak elongasi atau jarak pisah Bulan dan Matahari, agar kontras antara hilal yang tipis dengan cahaya syafaq menjadi kontrasnya.
"Jadi untuk elongasi yang besar hilalnya lebih tebal, dengan ketinggian minimal sekian derajat, itu cahaya syafaqnya sudah mulai meredup," kata Prof Djamal.
Lantas kenapa tidak melakukan rukyatulhilal pada siang hari? Menurut jawaban Prof Djamal.
Kenapa Tidak Rukyathilal Saat Siang Hari?
Dirinya memaparkan bahwa rukyat di siang hari bisa meningkatkan kontras cahaya. Hal ini mengingat, cahaya biru dapat ditekan oleh filter inframerah, sehingga cahaya hilalnya bisa ditingkatkan dengan baik.
"Tapi berbeda ketika pada saat dan sesudah Matahari terbenam, cahaya langit bukan biru, tapi agak kuning kemerahan sehingga tidak ada filter yang bisa digunakan dapat meningkatkan kontras saat maghrib dan Bulan sabit siang hari itu tidak dianggap sebagai hilal," papar Prof Djamal.
Menurutnya, apabila sabit siang hari dianggap hilal, maka itu dapat menimbulkan masalah dari segi fikih. Baik secara fikih islam, bisa disampaikan bahwa: berpuasa lah apabila melihat hilal dan berbuka lah apabila melihat hilal.
"Kalau akhir Ramadan jam 2 siang ada orang yang melaporkan melihat hilal siang hari karena menggunakan filter inframerah, apakah kemudian bisa untuk berbuka jam 2 siang? Jadi hilal siang hari itu tidak bisa dijadikan dasar sebagai hilal penentu awal Bulan walaupun secara teknologi memungkinkan melihat Bulan sabit pada siang hari," jelasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar